Koran Legendaris Koleksi Denny JA

Tjaja Soematra - Padang

Oleh JJ Rizal

Menjelang tahun 1900, Tjaja Soematra adalah salah satu dari lima surat kabar yang beredar di luar Jawa. Surat kabar ini diterbitkan oleh P Baumer & Co di Padang pada 1897 dan terbit dua kali seminggu. Sikap jurnalistik Tjaja Soematra salah satunya tercermin dalam tulisan editornya, yaitu Lim Soen Hin. Di situ, Lim mengkritisi penerbitan edisi perdana surat kabar Alam Minangkabau, surat kabar pertama di Minangkabau dan terbit di Padang. Koran ini terbit tiap Sabtu dicetak oleh percetakan Naamlooze Vennootschap Snelpersdrukkerij “Insulinde” yang pernah menerbitkan Tapian Na Oeli, Insulinde, dan Pertja Barat. Lim gerah karena surat kabar ini secara mencolok menggunakan bahasa Melayu tinggi atau Melayu sastrawi dan menggunakan huruf Jawi (Arab), sehingga membatasi pembacanya di hanya dari kalangan Minangkabau, Muslim Mandailing, serta Angkola. Redaksinya berorientasi ke Timur Tengah dan tulisan-tulisannya mencerminkan kecenderungan Islam ortodoks, baik dari segi surat kabar itu sendiri maupun pembacanya.


Mereaksi surat kabar Alam Minangkabau, Lim menulis:

“Menilik kata-kata dan sedjarahnya, tiadalah akan berapa lama lagi, di kota Padang nanti ada fabriek kata Melajoe dan penjoeloeh mengobah edjaan dalam hoeroef Arab. Begitoelah temasja kemadjoen Alam Minang Kabau: Oelar berikoet sifat Binatang achir zaman!!!” begitu tulis Lim pada 1 April 1904.


Lim adalah Tionghoa peranakan dari Padang Sidempuan yang mengawali kariernya pada dasawarsa terakhir abad ke-19 sebagai editor Tjahaja Soematra di bawah asuhan Datoek Soetan Maharadja (1858–1921), perintis pers nasional di Sumatera. Baik Datoek Soetan Maharadja maupun Lim, kemudian terlibat dalam percekcokan panjang dengan Dja Endar Muda, redaksi Alam Minangkabau. Melalui komentar dan editorialnya, ketiga orang itu saling menuduh dan merusak popularitas surat kabar lawan. Sampai di sini, persoalannya bukan lagi sikap jurnalistik Tjaja Soematra, tetapi betapa persaingan di antara surat kabar untuk berebut pasar lebih tajam di Sumatera daripada di Jawa, karena mereka terbit dan beredar di lokasi yang sama. Hasrat untuk menarik pembaca seringkali menimbulkan perselisihan di antara para editor.


Kendati demikian, Tjaja Soematra tetap surat kabar yang rajin mengimbau para pemuka pribumi dan warga pribumi agar peduli akan kemajuan serta kebutuhan mengejar kemajuan. Datoek Soetan Maharadja, misalnya, di Tjaja Soematra mengeluhkan kekurangan sekolah untuk anak-anak pribumi, sebagai tanggapan atas tulisan Retnodhoemilah edisi 13 Februari 1909.


Tulisan-tulisan Datoek Soetan Maharadja menjadi sikap jurnalistik Tjaja Soematra yang mencerminkan harsrat surat kabarnya agar orang Sumatera mengejar kemajuan modern sembari berketatapan hati untuk memelihara adat dan tradisi Minangkabau. Model moderniasi yang dipilih adalah berbasis pada adat tradisional Minangkabau, seraya menggunakan pendidikan Barat untuk kemajuan. Koran ini tutup pada 1933.