Shamash meets Andy Warhol - Mao (1973)

Deskripsi

Lukisan ini berjudul Mao (1973) yang dibuat oleh Andy Warhol pada tahun 1973. Seri lukisan potret diri Mao yang dilukis oleh Andy Warhol, bersumber dari poto Mao dari buku Kutipan-kutipan dari Ketua Umum Mao Tse-Tung atau dari judul Inggrisnya, Quotations from Chairman Mao Tse-tung (1964), buku ini seringkali dikenal sebagai Little Red Book. Buku ini merupakan buku kecil bersampul merah dan muat untuk ditaruh di kantong, buku ini berisi kumpulan poto Mao, kutipan-kutipan Mao, kumpulan pidato dan tulisannya yang terpilih.

Mulanya buku ini disusun oleh Ketua Mao untuk mempersiapkan Revolusi Kebudayaan (1966 – 1976) di Tiongkok yang kemudian secara total mengubah lanskap politik Tiongkok, dimana ideologi Marxisme-Leninisme-Maoisme disebarkan secara terstruktur, sistematis, dan massif. Para siswa dan mahasiswa diajarkan buku ini dan mereka di-screening pemahamannya akan buku ini; dari situlah muncul kelompok jutaan pemuda Tiongkok yang telah terindoktrinasi dengan ajaran Mao, kemudian membentuk Red Guards yang kemudian bergerak untuk melakukan Revolusi Kebudayan.

Ketika sedang gencar-gencarnya retorika anti-imperialisme Amerika Serikat dan Inggris, serta kekuatan dunia barat. Juga retorika anti-Uni Soviet karena Mao serta Politbiro Partai Komunis Tiongkok beranggapan bahwa Uni Soviet tidak lagi menjadi sebuah negara komunis dan sosialis sejati, melainkan telah menjadi sebuah negara “sosio-imperialis” dan “revisionis.” Menurut Mao, Uni Soviet merupakan sebuah negara sosio-imperialis, yakni bajunya saja kelihatan sosialis padahal dalam jiwa raganya mereka imperialis. Mao beranggapan Uni Soviet sejak zaman Nikita Khruschev (1923 – 1971) telah menjadi “revisionis” karena pidato rahasia Nikita Khruschev dalam rapat tertutup Partai Komunis Uni Soviet pada tahun 1956 yang mengecam “Pemimpin Agung Joseph Stalin.” Khruschev mengecam Stalin sebagai diktator yang kejam dan tiran yang memimpin Uni Soviet secara totaliter dan menebar terror kepada rakyat, Khruschev pun mengutuk cult of personality Stalin yang membuat komunisme di Uni Soviet menjadi melenceng, karena kultus berlebihan terhadap Stalin.

Tentu saja pidato ini mengguncang Uni Soviet, juga dunia komunis pada umumnya. Rakyat Uni Soviet dan kader Partai Komunis Uni Soviet, beranggapan Stalin adalah seorang ‘Pemimpin Agung’ yang membawa Uni Soviet menjadi negara superpower dan berhasil membawa Uni Soviet menang Perang Dunia II melawan Hitler, serta mentranformasikan Uni Soviet dari sebuah negara agraris terbelakang menjadi sebuah negara industri yang maju meski semua perubahan ini dibuat dengan tangan besi.

Mao berang dengan sikap Khruschev yang mengecam Stalin, hal ini pun diikuti oleh diktator komunis Albania, Enver Hoxha yang juga turut mengecam Khruschev. Terlebih lagi Khruschev beranggapan bahwa dalam penerapan Marxisme-Leninisme dapat diadakan revisi terhadap penerapannya karena Marxisme-Leninisme telah melenceng sejak zaman Stalin. Sontak langkah ini diikuti oleh beberapa negara komunis, terutama anggota Pakta Warsawa[1] dan tentunya beberapa pemimpin komunis dunia, seperti Ho Chi Minh dari Vietnam menerima langkah Khruschev dan siap menerima revisi terhadap penerapan komunisme. Namun tidak demikian dengan Mao Tse-Tung yang menganggap Joseph Stalin adalah gurunya dan pemimpin sejati dunia komunis pasca Vladimir Lenin, Enver Hoxha dari Albania beranggapan hal yang sama dengan Mao. Terlebih baik Enver Hoxha dan Mao sama-sama menerapkan cult of personality di negaranya masing-masing. Hubungan Tiongkok dengan Uni Soviet mulai tegang, bahkan dalam gerakan komunis mereka mulai bersebrangan, Mao mengecam langkah Khruschev yang melakukan invasi terhadap Hungaria pada tahun 1956, menurut itu adalah bukti nyata dari ‘sosio-imperialisme Uni Soviet.’

Khruschev berbalik menyerang Mao, langkah ini dibalas oleh Mao dengan menyatakan bahwa gerakan komunisme dunia kini butuh pemimpin baru. Pernyataan ini tentu saja mengatakan bahwa Khruschev harus diganti dan Mao lah yang lebih sah untuk memimpin gerakan komunis dunia. Walhasil aliansi antara Uni Soviet – Republik Rakyat Tiongkok yang ditandatangi pada tanggal 14 Februari 1950, kemudian kandas. Permintaan Uni Soviet untuk diberi akses pangkalan laut di wilayah perairan Asia Timur, tidak diberi oleh Tiongkok lantaran Mao kecewa karena Khruschev tidak membelanya ketika Tiongkok menganeksasi Tibet ke wilayahnya dan bersikap abstain dalam voting PBB, dari sini Mao mulai melihat Uni Soviet bukanlah sahabat sejati.

Ketegangan meningkat karena pada tahun 1961, Mayat Stalin yang semula diawetkan dan dipajang bersebelahan dengan mayat Lenin, kemudian mayat Stalin diambil dari Mausoleum Lenin kemudian dikuburkan dan diadakan upacara penguburan terhadap Joseph Stalin dimana banyak pemimpin negara komunis diundang dan juga pemimpin negara-negara non-komunis. Meskipun Tiongkok sendiri hadir, diwakili Perdana Menteri Zhou Enlai; namun Mao melihat tindakan Khruschev kurang ajar dan tidak sopan karena mengeluarkan mayat Stalin dari Mausoleum Lenin. Enver Hoxha pun mengutuk tindakan ini, karena ia sendiri bersimpati pada ajaran Stalin dan menganut model pemerintahan totaliter model Stalin. Tidak ada satupun perwakilan pemerintah Albania yang hadir pada upacara tersebut.

 Uni Soviet memutus hubungan diplomatik dengan Albania pada tahun 1961 dan Khruschev mengutuk Enver Hoxha sebagai antek Mao Zedong pada saat pertemuan Pakta Warsawa, sontak Albania pun keluar dari Pakta Warsawa. Uni Soviet kemudian memutus hubungan diplomatic dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun yang sama dan memulangkan banyak tenaga ahlinya yang dikirim untuk membantu pembangunan Tiongkok, secara de facto perjanjian aliansi kedua negara ini berakhir. Mao membalas langkah Khruschev ini dengan memutus hubungan diplomatik dengan Uni Soviet pada tahun 1962; Mao pun mengutuk Nikita Khruschev sebagai “revisionis”, “sosio-imperialis”, “pengkhianat”, “revisionis-pengkhianat”, “borjuis”, “kapitalis”, dan “imperialis.”

Mao akhirnya membentuk gerakan tambahan dalam Perang Dingin, sebuah gerakan komunis “anti-revisionisme”, Mao bermaksud untuk melaksanakan ajaran komunis yang murni dan konsekuen. Tindakan Mao ini disambut Enver Hoxha, sehingga terciptalah aliansi Tiongkok-Albania atau seringkali disebut “aliansi anti-revisionis.” Kelompok anti-revisionis beranggapan bahwa kelompok revisionis jauh lebih berbahaya dari kapitalis-imperialis yang dari bajunya saja sudah kelihatan ideologinya, sedangkan kelompok revisionis ini adalah oknum-oknum yang mengatasnamakan komunisme dan berlindung di balik baju komunisme padahal sejatinya mereka bukanlah komunis. Tindakan ini membuat gerakan komunisme dunia terpecah, menjadi kubu pro-Uni Soviet dan pro-Tiongkok efeknya banyak gerakan komunsime di negara-negara berkembang pun turut terdapampak. Perpecahan ini resmi disebut sebagai Sino-Soviet Split yang bermulai pada tahun 1962.

Uni Soviet dan Tiongkok berebut pengaruh dalam meraih dukungan di negara-negara dunia ketiga, termasuk membantu perjuangan beberapa negara-negara Afrika yang belum meraih kemerdekaannya. Terdapat beberapa gerakan komunis yang kemudian mendukung sikap anti-revisionisme Tiongkok, seperti Khmer Merah di Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu dipimpin D.N. Aidit. Ketika rezim komunis di suatu negara berdiri, namun rezim itu disokong oleh Uni Soviet, maka Tiongkok akan mendukung lawannya meski bukan berideologi komunis dan sikap sebaliknya diberlakukan oleh Uni Soviet. Contoh saja pada tahun 1962, terjadi Perang Tiongkok – India, di perbatasan dan Uni Soviet mendukung India serta memberikan bantuan persenjataan dan intelijen untuk melawan Tiongkok. Beberapa negara komunis yang tidak menjadi anggota Pakta Warsawa, bermaksud untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Uni Soviet dan Tiongkok beberapa bersikap netral bahkan masuk menjadi anggota Gerakan Non-Blok, seperti Kuba dan Korea Utara juga beberapa negara komunis lainnya seperti Angola, Mozambik, Benin, Nikaragua. Bahkan terdapat anggota Pakta Warsawa, seperti Romania yang masih menjaga hubungan baik dengan Tiongkok dan bersikap netral dalam konflik ini.

Nikita Khruschev digulingkan dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, posisinya digantikan oleh Leonid Brezhnev yang memimpin kudeta faksi partai pro-Stalin yang merasa sakit hati dengan tindakan Khruschev terhadap Stalin. Apalagi Khruschev dianggap telah merusak persatuan dunia komunis. Juga Khruschev dianggap telah mempermalukan Uni Soviet di kancah internasional dengan gimmick-nya mencopot sepatunya dan memukul di mimbar PBB sebelum dia berpidato di sidang umum PBB pada tahun 1960. Khruschev terpaksa menandatangani pengunduran diri dan hidup menjadi tahanan rumah hingga akhir hayatnya pada tahun 1971. Kepemimpinan Uni Soviet dilanjutkan oleh Brezhnev dimana ia menghidupkan kembali sistem totaliterianisme gaya Stalin, kendati demikian hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Soviet tidaklah sembuh. Malahan Partai Komunis Tiongkok menyebut bahwa Uni Soviet dipimpin oleh Brezhnev adalah sebuah “klik revisionis.”

Siapakah yang paling diuntungkan dari semua perpecahan ini? Tentu saja musuh bebuyutan Uni Soviet, yakni Amerika Serikat. Amerika Serikat melihat perpecahan ini sebagai sebuah peluang yang tidak boleh disia-siakan. Perang Dingin yang semula merupakan perang dua kutub, berubah menjadi perang tiga kutub dimana ada sebuah poros tambahan yakni Tiongkok yang memerangi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Terlintas di kepala Amerika Serikat mengapa tidak kita terapkan saja sebuah adagium: “musuh daripada musuhku adalah temanku.” Uni Soviet dengan Tiongkok bersitegang keduanya berperang di perbatasan selama 2 minggu, pada tahun 1969 dalam sebuah perang yang tidak dideklarasikan. Meski keduanya akhirnya berhenti berperang, namun keduanya masih saling curiga.

Tiongkok khawatir apabila masalah ini dibiarkan lama bisa melemahkan Tiongkok, terlebih lagi Uni Soviet mulai menganut “Doktrin Brezhnev” yang menyatakan: “apabila suatu kekuatan komunis, diganggu oleh sebuah kekuatan imperialis yang jahat maka tugas negara-negara komunis lainnya untuk ikut campur dan membela negara komunis yang diganggu tersebut.” Doktrin ini dipakai untuk menjustifikasi serangan Pakta Warsawa terhadap Cekoslovakia pada tahun 1968 untuk mentertibkan rezim komunis yang dianggap mbalelo terhadap Uni Soviet. Enver Hoxha takut ia akan bernasib sama dengan Cekoslovakia dan segera membangun 350.000 bunker untuk menjadi tempat berlindung bila invasi Soviet terjadi. Tiongkok pun takut bila Uni Soviet menyerang Tiongkok dan membangun rezim komunis pro-Soviet di Tiongkok. Hal ini bukanlah hal yang susah mengingat pada saat itu Uni Soviet memiliki militer lebih kuat dari Tiongkok, juga Tiongkok bukan anggota PBB dan kursinya diisi oleh Taiwan atau nama resminya, Republik Tiongkok.

Mao Zedong dan Zhou Enlai mulai beranggapan jauh lebih baik Tiongkok mencairkan hubungan dengan Amerika Serikat. Siapa tahu hal ini bisa memudahkan Tiongkok untuk merebut balik Taiwan. Presiden Richard Nixon dan Menlunya Henry Kissinger melihat peluang ini, mulailah strategi: “musuh daripada musuhku adalah temanku” dilakukan. Terjadi perbincangan rahasia antara Amerika Serikat dan Tiongkok, hingga akhirnya Richard Nixon bersama Menlu Henry Kissinger mendatangi Tiongkok, kunjungan diplomatik ini disambut ramah oleh Ketua Mao. Sontak dunia kaget dengan langkah ini, tentu saja banyak rakyat Tiongkok juga yang bingung. Sebab pada masa Revolusi Kebudayaan, mereka didoktrin untuk membenci Amerika Serikat sebagai kekuatan “kapitalis-borjuis-imperialis yang jahat”, bahkan di kalangan Red Guards wajah Nixon dijadikan sasaran tembak untuk latihan senjata. Lantas bagaimana bisa Kamerad Ketua Mao berjabat tangan erat dengan pemimpin “kapitalis-imperialis-borjuis”? Terlebih lagi kedua negara ini tidak memiliki hubungan diplomatic secara resmi, dunia barat pun bingung atas langkah ini karena  Republik Rakyat Tiongkok bukan anggota PBB sehingga tidaklah benar-benar menjadi sebuah negara yang berdaulat pada saat itu.

Richard Nixon memberikan sebuah hadiah kepada Ketua Mao, sebuah alat bantuan pernafasan yang sangat canggih yang sangat dibutuhkan Mao dan pada saat itu Tiongkok belum bisa memproduksi sendiri alat itu. Juga akhirnya Tiongkok melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Untuk menjawab kebingungan rakyat Tiongkok, munculah sebuah propaganda:

“Ketua Mao melakukan normalisasi dengan sahabat lama Tiongkok, Amerika Serikat untuk melawan musuh nyata Tiongkok, yakni kekuatan Sosio-Imperialis yang dipimpin oleh Klik Revisionis Brezhnev. Sebab kelompok imperialis tidaklah seberbahaya kelompok sosio-imperialis sebab mereka tidak berlindung dibalik baju komunisme dan sosialisme, sehingga kita bisa langsung tahu kalau mereka bukan komunis. Jadi bukanlah serigala berbulu domba.”

Tindakan Mao ini membuat Uni Soviet kaget, sehingga Brezhnev di kemudian hari mau menandatangani perjanjian pengurangan senjata nuklir dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat setuju untuk menendang kursi sahabatnya sendiri, Taiwan dari PBB dan digantikan oleh Tiongkok. Lantas Tiongkok resmi menjadi anggota PBB sekaligus anggota Dewan Keamanan Tetap PBB, serta memiliki hak veto. Tentu saja bertambahnya musuh kuat Uni Soviet di PBB, membuat Soviet menjadi lebih waspada karena kini Tiongkok menjadi negara berdaulat dan punya hak veto. Dalam langkah-langkah selanjutnya, Tiongkok mengecam tindakan invasi Uni Soviet ke Afghanistan dan mendukung lawan utama kelompok komunis Afghanistan, yakni Taliban. Juga terjadi perang saudara antara kelompok komunis pro-Soviet dan pro-Tiongkok di Ethiopia. Mulailah terjadi Perang Dingin Tiga Kutub, dalam beberapa hal Tiongkok dan Amerika Serikat beraliansi untuk memerangi pengaruh Soviet di beberapa negara. Seperti terlihat dari kecaman Tiongkok dan Amerika Serikat terhadap Invasi Rezim Komunis Vietnam atas rezim Komunis Khmer Merah di Kamboja yang didukung Tiongkok.

Tindakan ini membuat berang Enver Hoxha, ia merasa ditinggalkan oleh sahabatnya sendiri Mao Zedong. Mulailah terjadi Sino-Albanian Split, dimana hubungan diplomatik kedua negara ini putus. Albania mengecam tindakan Tiongkok karena dianggap telah mengkhianati cita-cita perjuangan. Enver Hoxha mengutuk Mao Zedong sebagai “revisionis”, “pengkhianat”, dan “kolaborator borjuis.” Enver Hoxha menyatakan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin komunis sejati dan secara de facto, menjadi pemimpin tunggal gerakan anti-revisionisme.

Ditengah-tengah semua perhatian dunia atas kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok, Andy Warhol melukis seri lukisan Mao. Seri lukisan ini tidak menggunakan gaya seni, realisme sosialis yang biasanya dipakai di negara-negara komunis. Melainkan dengan gaya pop art khas Warhol, terlihat dari potret diri Mao yang diambil dari Little Red Book, dilukis dengan sentuhan warna pop-art. Bisa jadi Mao adalah satu-satunya pemimpin komunis dunia yang dilukis oleh seorang pelukis dari negara kapitalis dan tentu saja, lukisan ini laku dengan harga yang sangat kapitalis yang mungkin saja para aktivis komunis tidak akan sanggup membeli potret wajah tokoh mereka sendiri.

[1] Blok aliansi militer yang dibentuk Uni Soviet yang berisikan negara-negara komunis di Eropa Timur. Aliansi ini dibentuk pada tanggal 14 Mei 1955 di Warsawa, Polandia sebagai reaksi atas bergabungnya Jerman Barat ke North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang dibentuk oleh Amerika Serikat dan negara-negara Blok Barat di Eropa pada tanggal 4 April 1949. Pakta Warsawa sudah bubar sejak 1 Juli 1991, kemudian beberapa bekas anggotanya masuk menjadi anggota NATO. Kini NATO masih ada dan bertahan hingga sekarang.


Ke Galeri NFT | Salin Link